|
| | |
| Kehidupan kota metropolitan sungguh sangat berlainan dengan kehidupan di
kampung. Jalanan penuh dengan lalu lalang kendaraan, bergerak tak
pernah berhenti. Bis kota, angkutan penumpang umum, mobil, motor dan
yang lain-lain berseliweran tak karuan. Lalu lintas benar-benar
semrawut. Sepertinya tak ada aturan. Mereka berjalan semau gue, ingin
menang sendiri. Tak ada sopan santun di jalanan. Kemacetan sudah
merupakan keharusan di kota ini. Para pengendara saling umpat menuntut
haknya masing-masing. Pokoknya membuat stress siapa saja yang hidup
di kota ini. Tak heran karenanya para penghuni kota selalu mencari
kesempatan untuk refreshing. Melupakan kehidupan yang begitu penuh
dengan persaingan, saling ganjal, saling sikut demi kepentingan
pribadi. Mereka ada yang pergi ke luar kota, ke daerah pegunungan, ke
pantai atau ada juga yang datang ke tempat-tempat hiburan sekedar
mendengarkan musik sambil minum-minum bersama teman-temannya.
Setelah
hidup tiga bulan di kota ini, aku sudah mulai bisa menyesuaikan diri
dengan gaya kehidupan di sini. Aku pernah juga menyempatkan diri mampir
ke sebuah café untuk mencari hiburan hanya sekedar melepaskan
kepenatan keseibukanku sehari-hari. Aku pun sudah tak berhubungan dengan
suamiku lagi setelah kuminta surat cerai darinya, meski kutahu ia
berada di kota tempatku kini tinggal. Terakhir kali kami bertemu di
suatu tempat dan ia menyatakan maaf atas segala perlakuannya selama ini.
Aku memaafkannya dan meminta untuk tidak lagi berhubungan demi
kepentingan bersama. Suamiku sebenarnya masih mencintaiku namun keadaan
memang tidak memungkinkan lagi. Ia akhirnya menyatakan selamat tinggal
dan meninggalkan selembar cek bernilai sangat besar. Katanya untuk
menunjang kebutuhanku sehari-hari.
Sebelum aku datang ke kota
ini, aku sudah mempersiapkan diri untuk mencari kesibukan. Beruntunglah
aku berkenalan dengan seorang wanita pengusaha. Usianya tak jauh
berbeda denganku. Orangnya pandai bergaul, ramah dan pintar. Namanya
Nuraini. Aku memanggilnya Mbak Rini, karena ia memang meminta dipanggil
seperti itu. Cantik, tinggi semampai, tubuhnya montok dan suka
berpakaian seksi. Orang bilang tipe ‘Bangkok’. Penampilannya memang
sempurna. Wanita berkelas. Katanya ia kenal dengan orang-orang penting
dikota ini. Pejabat pemerintah, konglomerat sampai ke jenderal-jenderal
dikenalnya dengan baik. Aku tak tahu bagaimana ia bisa menjalin
hubungan dengan mereka. Tapi yang pasti, kalau melihat penampilannya
yang serba ‘wah’, aku percaya dengan pengakuannya itu. Siapa yang tak
suka berhubungan dengan Mbak Rini yang cantik dan seksi itu.
Aku
sering berhubungan dengannya dan banyak meminta nasihat, saran
berkaitan dengan bisnis di kota ini yang penuh dengan persaingan ketat.
Aku pun mau tak mau harus bisa mengimbangi gaya hidupnya yang serba
aktif, termasuk mengunjungi tempat-tempat hiburan atau lebih dikenal
dengan istilah ‘Dugem’.
Sore tadi aku ditelepon Mbak Rini untuk
bertemu di sebuah café yang kebetulan tak begitu jauh dari tempat
tinggalku. Katanya aku akan dikenalkan dengan seorang pengusaha besar.
Mbak Rini berjanji akan mengikutsertakan diriku untuk sama-sama
mengerjakan proyek besar dari pengusaha ini. Di telepon dia wanti-wanti
agar aku berdandan secantik mungkin, bahkan kalau bisa seseksi
mungkin. Aku tertawa saja mendengar permintaannya itu dan kukatakan
ada-ada saja, masa bertemu dengan pengusaha saja harus berpakaian
seksi, kataku polos. Tetapi ketika berangkat aku berpakaian seksi juga
pada akhirnya.
Sebelum keluar pintu rumah, aku masih menyempatkan
diri bercermin di depan kaca yang ada di ruang tamu. Kuperhatikan
dandananku agar tak membuat malu Mbak Rini nantinya. Aku cukup puas
dengan penampilanku. Blouse warna hitam itu sangat cocok sekali dengan
warna kulitku yang putih bersih. Melekat ketat mencetak bentuk tubuhku
sehingga memperlihatkan lekukan-lekukannya, terutama di bagian dada.
Payudaraku nampak membusung penuh di balik blouse ketat ini. Bahkan
kancing bagian atasnya sampai susah dimasukan ke dalam lubangnya saking
ketatnya. Aku agak jengah melihat tonjolan dadaku sendiri. Ke bawahnya
kupadu dengan rok sebatas lutut. Aku sengaja memakai rok ini supaya
bentuk kakiku yang ramping dan betisku yang indah kelihatan cantik. Aku
puas dengan dandananku.
Setengah jam kemudian aku sudah berada
di café itu. Aku celingukan mencari Mbak Rini di tengah keramaian
orang-orang yang berlalu lalang di sana. Agak gugup juga aku berada di
sana, mungkin belum terbiasa dengan kehidupan malam seperti ini meski
telah beberapa kali mencobanya. Selang beberapa menit, aku menemukannya
di pojok ruangan café itu tengah duduk berdua dengan seorang pria.
Mbak Rini segera melambaikan tangannya padaku saat kumelangkah ke sana.
"Sini buruan,” panggilnya. "Nah, kenalin ini teman saya. Cantik khan?” katanya kemudian seraya memperkenalkanku kepada pria di sampingnya. "Anna,” ucapku lirih malu-malu sambil menyodorkan tanganku menyambut uluran tangan pria itu. "Aku Rudy,” balasnya segera sambil tersenyum padaku. Lanjut di Sini
| |
| | |
|
|